Melejitkan Potensi Diri, Meraih Kesempurnaan
Rasululloh shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Zat yang jiwaku berada di tangannya, tidaklah Allah menurunkan baik di dalam taurat, di dalam Zabur, di dalam Injil, tidak juga di dalam Al Furqan (Al Quran) sebuah surat yang seperti ini, sesungguhnya ia adalah As Sab’ul Matsaani (Al Fatihah).” (Shahih, HR. Tirmidzi, 5/2875, disahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi, lihat Tafsir Ibnu Katsir jilid 1 hal 13)
Manusia itu memiliki dua potensi kekuatan: kekuatan ilmiah nazhariyah (pengetahuan dan pemikiran) dan kekuatan ‘amaliah iradiyah (perbuatan dan kehendak). Kebahagiaan yang sempurna bagi manusia sangat tergantung pada penyempurnaan kedua kekuatan ini; kekuatan ilmiah/pengetahuan dan kekuatan iradiyah/kehendak.
Kiat Menyempurnakan Kekuatan Ilmiah
Cara untuk menyempurnakan kekuatan ilmiah hanya bisa dilakukan dengan:
- Mengenali Zat Yang telah menciptakan dirinya, Nama-nama dan Sifat-sifatNya.
- Mengetahui jalan yang bisa mengantarkan kepada-Nya.
- Harus mengerti berbagai rintangan jalan tersebut.
- Harus mengenali dirinya sendiri.
- Mengetahui aib-aib yang dimilikinya.
Dengan lima pengetahuan inilah seorang manusia akan bisa memperoleh kesempurnaan kekuatan ilmiah. Orang yang paling berilmu adalah orang yang paling mengerti dan paling paham tentang-Nya.
Kiat Menyempurnakan Kekuatan Amaliah
Sedangkan untuk menyempurnakan kekuatan amaliah iradiyah hanya bisa diraih dengan menjaga hak-hak Allah subhanahu wa ta’ala yang harus ditunaikan hamba (tauhid dan taat) dan menegakkannya dengan ikhlas, shidq (jujur dan benar), penuh nasihat, ihsan, mutaba’ah (mengikuti tuntunan) dan menyadari serta mengakui karunia Allah kepada dirinya, menyadari kekurangan dirinya dalam menunaikan hak-hakNya. Sehingga dia pun merasa malu menghadap-Nya dengan pengabdian (yang kurang) seperti itu karena dia menyadari bahwa pengabdiannya itu belum bisa memenuhi hak-Nya sebagaimana seharusnya, bahkan jauh sekali di bawah semestinya.
Tanpa Pertolongan Allah Itu Tak Mungkin Diraih
Tidak mungkin seorang manusia menempuh jalan untuk menyempurnakan kedua kekuatan ini kecuali dengan pertolongan Allah. Allah lah yang memberikan hidayah kepadanya menuju jalan yang lurus/shirathul mustaqim; jalan yang diajarkan Allah kepada wali-waliNya dan mereka mendapat keistimewaan dengan menempuhnya, Allah lah yang bisa menjauhkan dirinya dari melenceng keluar dari jalan tersebut. Penyimpangan dari jalan lurus itu bisa terjadi dengan rusaknya kekuatan ilmiahnya sehingga dia terjatuh dalam kesesatan. Atau juga penyimpangan itu terjadi karena rusaknya kekuatan amaliahnya sehingga dia berhak mendapatkan murka.
Maka kesempurnaan dan kebahagiaan insan tidak mungkin tercapai kecuali dengan terkumpulnya seluruh perkara ini tadi (kekuatan ilmiah dan amaliah serta pertolongan Allah). Surat Al Fatihah telah mencakup perkara-perkara ini dan menatanya dengan sedemikian bagusnya.
Ushul Asma’ul Husna
Firman Allah Ta’ala,
الحمد لله رب العالمين. الرحمن الرحيم. مالك يوم الدين
“Segala puji bagi Allah Robb penguasa alam, Yang Maha pemurah lagi Maha penyayang, Raja penguasa pada hari pembalasan.” (QS. Al Fatihah: 2-4)
Ayat-ayat ini mengandung landasan yang pertama yaitu mengenali Robb ta’ala, Nama-Nama, Sifat-Sifat dan perbuatan-perbuatanNya. Nama-Nama Allah yang tercantum dalam surat ini adalah ushul asma’ul husna (pokok Asma’ul Husna) yaitu: Allah, Ar Rabb dan Ar Rahman. Makna-makna semua Nama Allah intinya berpusat pada nama-nama ini.
Nama Allah mengandung sifat Uluhiyah. Allah, dialah yang berhak dipertuhankan dan diibadahi, yang berhak diesakan dalam beribadah karena berbagai macam sifat ketuhanan melekat di dalam diri-Nya, dan itu semua merupakan sifat kesempurnaan (Taisir Karimirrahman, hal. 39).
Nama Ar Rabb mengandung sifat Rububiyah. Rabbul ‘Aalamin artinya Zat yang men-tarbiyah seluruh alam. Tarbiyah Allah kepada makhluk-Nya ada dua macam:
- Tarbiyah ‘aammah/umum
- Tarbiyah khaashshah/khusus
Tarbiyah Umum dan Khusus
Tarbiyah umum yaitu: penciptaan seluruh makhluk, pemberian rezeki kepada mereka, pemberian petunjuk guna mencapai kemaslahatan hidup mereka selama di dunia.
Sedangkan tarbiyah khusus adalah: tarbiyahNya kepada wali-waliNya. Wali Allah adalah hamba-hambaNya yang beriman dan senantiasa bertakwa kepada-Nya.
Allah mentarbiyah mereka dengan keimanan, memberikan taufik kepada mereka untuknya, menyempurnakan iman itu bagi mereka. Allah menyingkirkan berbagai rintangan dan penghalang yang menghalangi hubungan mereka dengan-Nya. Hakikat dari tarbiyah khusus ini adalah: tarbiyah taufik untuk bisa mencapai segala kebaikan dan terlindungi dari berbagai macam kejelekan (Taisir Karimirrahman, hal. 39).
Nama Ar Rahman mengandung sifat ihsan, pemurah dan pemilik kebaikan. Ibnul Mubaarak rohimahulloh mengatakan, “Ar Rahman apabila diminta pasti memberi dan apabila tidak diminta akan murka.” Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi, “Barang siapa yang tidak meminta kepada Allah maka Allah murka kepadanya.” (Shahih, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ 2418, lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/27)
Inti Penghambaan
Firman Allah ta’ala,
إيّاك نعبد و إيّاك نستعين
“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami minta pertolongan.” (QS. Al Fatihah: 5)
Ayat ini mengandung keharusan mengetahui jalan yang mengantarkan kepada Allah, jalan itu adalah dengan beribadah kepada-Nya saja dengan segala sesuatu yang dicintai dan diridhoi-Nya serta senantiasa memohon pertolongan-Nya dalam menunaikan ibadah kepada-Nya.
Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhoi Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan; yang nampak maupun yang tersembunyi. Dan ibadah hanya akan dianggap/diterima sebagai ibadah apabila:
- Diambil dari tuntunan Rasululloh shollallahu ‘alaihi wa sallam.
- Dikerjakan dengan niat mengharap keridhoan Allah.
Disebutkannya ibadah sebelum isti’anah (minta tolong) demi mendahulukan hak Allah atas hak hamba. Karena isti’anah itu sebenarnya termasuk ibadah, maka penyebutan isti’anah setelah ibadah dalam ayat ini merupakan penyebutan sesuatu yang lebih luas cakupannya sebelum sesuatu yang lebih sempit cakupannya.
Kenapa isti’anah disebutkan padahal isti’anah juga termasuk ibadah, jawabnya adalah: karena setiap hamba sangat membutuhkan pertolongan Allah dalam melaksanakan seluruh ibadahnya. Jika seandainya Allah tidak menolong dirinya niscaya dia tidak akan bisa mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan (Taisir Karimirrahman, hal. 39).
Shirathal Mustaqim
Firman Allah ta’ala,
اهدنا الصراط المستقيم
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al Fatihah: 6)
Ayat ini mengandung penjelasan bahwa seorang hamba tidak memiliki jalan untuk meraih kebahagiaannya kecuali dengan istiqomah meniti shirathal mustaqim, dan tidak ada jalan menuju istiqomah di atas shirathal mustaqim kecuali dengan hidayah dari-Nya.
Hakikat jalan yang lurus adalah: mengenali kebenaran dan mengamalkannya. Hidayah itu ada dua, hidayah ila shirath dan hidayah fii shirath. Hidayah ila shirath yaitu petunjuk menuju jalan yang lurus; tetap berpegang dengan agama Islam dan meninggalkan agama-agama selainnya. Sedangkan hidayah fii shirath adalah petunjuk untuk bisa melaksanakan berbagai rincian ajaran agama Islam dengan bentuk ilmu dan pengamalan (Taisir Karimirrahman, hal. 39).
Di dalam ayat ini juga terkandung bantahan bagi seluruh kalangan pembela kebid’ahan dan para pengibar bendera kesesatan, sebab setiap ahli bid’ah dan orang sesat adalah sosok yang menyimpang dari jalan yang lurus (lihat Taisir, hal. 40).
Bukan Yang Dimurkai dan Sesat
Firman Allah ta’ala,
غير المغضوب عليهم ولا الضالّين
“Bukan jalannya orang-orang yang engkau murkai dan bukan pula jalannya orang-orang yang tersesat.” (QS. Al Fatihah: 6)
Ayat ini mengandung penjelasan dua sisi penyimpangan dari jalan yang lurus. Menyimpang ke sisi yang satu akan menjerumuskannya ke dalam kesesatan yaitu rusaknya ilmu dan keyakinan. Sedangkan menyimpang ke sisi yang lainnya akan menjerumuskannya ke dalam kemurkaan yang timbul karena rusaknya niat dan amalan.
Orang-orang yang dimurkai adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran tapi justru meninggalkannya, sebagaimana yang terjadi pada orang-orang Yahudi. Sedangkan orang-orang yang tersesat adalah orang-orang yang meninggalkan kebenaran karena kebodohan/tidak mau tahu seperti yang terjadi pada orang-orang Nasrani (Taisir Karimirrahman, hal. 39).
Maka bagian awal dari surat ini mengandung rahmat, bagian tengahnya mengandung hidayah dan bagian akhirnya mengandung nikmat. Jatah nikmat hakiki yang diperoleh hamba itu sesuai dengan kadar hidayah yang diterimanya. Begitu pula jatah hidayahnya sesuai dengan kadar rahmat yang dianugerahkan kepadanya, sehingga urusan ini akhirnya semua kembali berpusat pada nikmat dan kasih sayang-Nya.
Sedangkan nikmat dan kasih sayang/rahmat merupakan salah satu bukti keberadaan sifat rububiyah Allah, Dia tidak pernah lepas dari sifat penyayang dan pemberi nikmat, dan hal itu termasuk sebab yang mengharuskan penyembahan ditujukan kepada-Nya. Dialah sesembahan yang hak, walaupun orang-orang yang menentang bersikeras menentang-Nya dan orang-orang musyrik tetap bersikukuh dengan kesyirikannya.
Maka barang siapa merealisasikan makna-makna yang terkandung dalam surat Al Fatihah, mengilmuinya, mengetahui dan mengamalkannya, serta turut menciptakan keadaan yang diinginkannya, sungguh dia telah meraih kejayaan terbesar dengan amalnya dan Ubudiyah/penghambaannya (kepada Allah) menjadi Ubudiyah khaashshah (penghambaan khusus) yaitu tingkatannya orang-orang yang diangkat derajatnya oleh Allah di antara kalangan orang-orang awam yang beribadah. Wallahul musta’aan.
(Petikan Faedah Surat Al Fatihah)
Disarikan dari:
- Al-Fawaa’id, karya Al Imam Ibnul Qayyim rohimahulloh.
- Taisir Karim ar-Rahman, karya Syaikh As Sa’di rohimahulloh.
- Beserta tambahan keterangan ulama yang lain.
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Murojaah: Ustadz Abu Saad
Artikel www.muslim.or.id
Comments
No comment yet.